Tangis Bahagia Nur Laila: Mimpi Rumah Layak yang Akhirnya Jadi Nyata
Font Terkecil
Font Terbesar
![]() |
Ketua TP-PKK Aceh, Ny. Marlina Muzakir, saat mendatangi rumah Nur Laila (52), seorang janda di Gampong Seuneubok Tuha, Idi, Rabu, (19/3/2025) Foto Dok Humas Pemprov Aceh |
Namun, mimpi yang selama ini terasa jauh itu akhirnya mendekati kenyataan. Pada Rabu, 19 Maret 2025, kunjungan Marlina, istri Gubernur Aceh sekaligus Ketua TP PKK Aceh, mengubah hidupnya. Marlina yang datang ke Idi untuk menghadiri pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Aceh Timur, seperti biasa, menyempatkan diri untuk turun langsung melihat kondisi masyarakat di desa-desa.
Saat perjalanan melintasi Gampong Seuneubok Tuha, perhatian Marlina tertuju pada gubuk kecil di tepi sawah. Ada sesuatu yang mengusiknya—gubuk itu tampak rapuh, seakan tak mampu melindungi penghuninya dari panas dan hujan. Marlina pun meminta rombongannya berhenti. Saat ia berjalan mendekat, ia menemukan Nur Laila tengah duduk tekun membersihkan lidi-lidi kelapa.
Dalam perbincangan yang hangat, Nur Laila menceritakan kehidupannya. Setiap hari, ia masuk ke hutan atau kebun orang lain untuk mengumpulkan pelepah kelapa yang jatuh. Setelah dikumpulkan, ia memisahkan lidinya dan menjualnya ke pasar dengan harga Rp2.500 per kilogram. Penghasilannya tak menentu, sering kali tak cukup untuk sekadar makan, apalagi untuk memperbaiki rumahnya.
Tapi di balik kesederhanaannya, ada satu harapan yang selalu ia simpan—ia ingin rumahnya bisa dialiri listrik. Jalur listrik sebenarnya sudah ada di desa itu, namun biaya pemasangan menjadi penghalang besar baginya. “Neubantu pasang listrik,” pintanya dengan penuh harap.
Mendengar itu, Marlina terdiam sejenak, lalu dengan tegas berkata, “Bek lampu, rumoh aju tapeugot saboh beh. Lheuh nyan baro tapasang lampu.” Ia ingin lebih dari sekadar memasang listrik—ia ingin membangun rumah yang layak untuk Nur Laila terlebih dahulu. Rumah yang bisa melindunginya, rumah yang membuatnya merasa aman dan nyaman.
Mata Nur Laila berkaca-kaca. Baginya, ini lebih dari sekadar bantuan. Ini adalah mimpi yang tiba-tiba terasa begitu nyata. Setelah bertahun-tahun hidup dalam keterbatasan, akhirnya ada harapan baru. Rumah yang dulu hanya ada dalam angan-angan, kini akan berdiri tegak, menjadi saksi bahwa harapan tak pernah benar-benar sirna.
Di hari itu, di bawah langit Aceh yang biru, Nur Laila tidak hanya mendapatkan rumah. Ia mendapatkan kembali sesuatu yang lebih berharga—kepercayaan bahwa mimpi-mimpi yang tulus, sekecil apa pun, tetap bisa menjadi kenyataan.***