BREAKING NEWS

ICW Soroti Potensi Risiko Korupsi pada Peluncuran BPI Danantara

Gedung Danantara


PASE SATU |  JAKARTA - Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah, mengungkapkan kekhawatirannya terkait peluncuran Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), yang direncanakan diluncurkan oleh Presiden Prabowo Subianto pada 24 Februari 2024. BPI Danantara, lembaga yang akan bertanggung jawab mengelola investasi strategis negara, menjadi sorotan karena potensi risiko yang ditimbulkan terhadap pengawasan dan penegakan hukum.

Alamsyah menilai bahwa pembentukan BPI Danantara dapat mengurangi kewenangan lembaga penegak hukum seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), karena keduanya tidak akan memiliki hak untuk mengaudit atau melakukan tindakan hukum terhadap Danantara. Hal ini, menurut Alamsyah, berisiko membuka celah bagi praktik korupsi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berada di bawah pengelolaan BPI Danantara.


"BPK dan KPK tidak diberikan kewenangan untuk melakukan audit atau penegakan hukum terhadap Danantara. Ini berpotensi meningkatkan korupsi di BUMN yang berada di bawah pengelolaan Danantara," jelas Alamsyah dalam diskusi yang diadakan di kantor ICW pada Senin, 17 Februari 2025.


Pengawasan BPI Danantara Berdasarkan Permintaan DPR

BPI Danantara kini memiliki dasar hukum yang kuat melalui Undang-Undang (UU) BUMN yang baru, yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 4 Februari 2024. Berdasarkan UU tersebut, pemeriksaan laporan keuangan BUMN dilakukan oleh akuntan publik yang ditunjuk melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk perusahaan persero, sementara bagi perusahaan umum (Perum), akuntan publik ditetapkan oleh Menteri.


BPK dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) hanya dapat memeriksa perusahaan yang dikelola oleh Danantara jika ada permintaan dari DPR atau jika pemeriksaan tersebut diminta untuk tujuan tertentu.


Menurut UU BUMN yang baru, Presiden diberikan kewenangan untuk mengelola BUMN dan memberikan mandat atas saham seri A atau golden share milik pemerintah kepada Menteri BUMN. Sementara itu, saham seri B atau saham biasa akan dikelola oleh BPI Danantara. Menteri Keuangan, yang berperan sebagai pengawas BPI Danantara, memiliki tanggung jawab untuk mengatur skema penyertaan modal negara bagi BUMN serta menjadi bagian dari komite penyelamatan BUMN.


Reformasi Pengelolaan BUMN: Pemisahan Fungsi Regulator dan Operator

Ketua Komisi VI DPR, Anggia Ermarini, dikutip Tempo.co menjelaskan bahwa terdapat sepuluh perubahan penting dalam UU BUMN yang baru. Salah satunya adalah pemisahan fungsi regulator dan operator dalam pengelolaan BUMN. Dalam kebijakan baru ini, pengelolaan BUMN tidak lagi berada di bawah Kementerian BUMN, melainkan dialihkan kepada BPI Danantara, sementara Kementerian BUMN berfungsi sebagai pembuat kebijakan dan pengawas.


Selain itu, Pasal 3M dalam UU BUMN yang baru menyebutkan bahwa Danantara akan memiliki Dewan Pengawas dan Badan Pelaksana. Menteri BUMN, yang juga merupakan Ketua Dewan Pengawas Danantara, akan dibantu oleh perwakilan Kementerian Keuangan dan pejabat negara yang ditunjuk oleh Presiden. Sebagai Ketua Dewan Pengawas, Menteri BUMN memiliki wewenang untuk memberhentikan sementara anggota Badan Pelaksana Danantara.


Korupsi Semakin Sulit Ditegakkan dengan Keberadaan Danantara

Alamsyah menyoroti bahwa meskipun tanpa kehadiran BPI Danantara, praktik korupsi di BUMN sudah terjadi. Berdasarkan pemantauan ICW dari 2016 hingga 2021, tercatat 119 kasus korupsi yang melibatkan BUMN, dengan kerugian negara yang mencapai lebih dari Rp 40 triliun. Kehadiran Danantara, menurutnya, berpotensi menyulitkan aparat penegak hukum dalam menindaklanjuti kasus-kasus korupsi tersebut.


"Keberadaan Danantara membuka celah besar bagi kelompok tertentu untuk menyalahgunakan dana negara demi kepentingan pribadi," ungkap Alamsyah.


Anggota Komisi XI DPR, Harris Turino, juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap model pengawasan yang diusulkan dalam kebijakan ini. Menurutnya, modal awal BUMN berasal dari dana negara, dan seharusnya BPK diberikan hak untuk memeriksa pengelolaan serta penggunaan dana tersebut demi menjaga transparansi dan akuntabilitas.


Dampak Kebijakan Baru terhadap Penerimaan Negara dari Dividen BUMN

Harris juga menekankan bahwa kebijakan baru ini bisa berdampak pada penerimaan negara yang berasal dari dividen BUMN. Pemerintah selama ini mengandalkan pendapatan signifikan dari setoran dividen BUMN, yang pada tahun ini diperkirakan akan mencapai sekitar Rp 80 triliun. Perubahan dalam pengelolaan dan pengawasan BUMN berpotensi mempengaruhi proyeksi penerimaan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.***

Sumber: tempo.co

ADVERTISEMENT
no