Gelombang Pengungsi Rohingya di Aceh, Krisis Kemanusiaan atau Ancaman Baru?
"Salah satu yang utama adalah kondisi politik di Myanmar yang tidak stabil, menyebabkan etnis Rohingya mengalami diskriminasi dan kekerasan "
"Saat ini, terdapat empat kamp penampungan utama di Aceh. Di Kantor Imigrasi Lhokseumawe menampung 93 orang, di Aceh Timur sebanyak 376 orang, di Desa Kulee Pidie sebanyak 59 orang, dan di Desa Mina Raya Pidie mencapai 576 orang. Ini merupakan data terbaru yang kami miliki," ungkap Novianto dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XIII DPR RI pada Senin (24/2/2025).
Aceh menjadi tujuan utama pengungsi Rohingya karena beberapa faktor. Salah satu yang utama adalah kondisi politik di Myanmar yang tidak stabil, menyebabkan etnis Rohingya mengalami diskriminasi dan kekerasan. Selain itu, secara geografis, Aceh adalah wilayah terdekat yang dapat dijangkau oleh mereka.
Baca Juga:
- Akhir Penantian! Gaji Tenaga Kontrak Aceh Cair 25 Februari
- Peresmian Danantara, Prabowo Luncurkan Pengelolaan Anggaran Rp15.978 Triliun untuk Investasi Nasional
- Menhan Sjafrie Sjamsoeddin Berikan Pembekalan Kepala Daerah di Akmil Magelang
"Aceh juga dipilih karena mayoritas penduduknya beragama Islam, sehingga mereka merasa lebih nyaman dan aman. Selain itu, kondisi kamp pengungsian di Cox’s Bazar, Bangladesh, yang semakin memburuk, mendorong mereka untuk mencari tempat perlindungan baru," jelas Novianto.
Meskipun banyak masyarakat Aceh yang menunjukkan solidaritas terhadap pengungsi Rohingya, tidak sedikit pula yang merasa khawatir dengan terus bertambahnya jumlah mereka. Dalam beberapa kesempatan, terjadi demonstrasi dari berbagai elemen masyarakat, termasuk mahasiswa dan LSM, yang menyoroti dampak sosial dari keberadaan pengungsi.
"Masyarakat mulai merasa resah karena beberapa pengungsi tidak menaati aturan syariat Islam yang berlaku di Aceh. Selain itu, muncul pula misinformasi yang memperburuk sentimen masyarakat terhadap keberadaan Rohingya," tambah Novianto.
Tantangan utama dalam menangani pengungsi Rohingya di Aceh adalah kurangnya kejelasan dalam alokasi anggaran serta koordinasi antarinstansi. Menurut Novianto, diperlukan kebijakan yang lebih tegas untuk menangani persoalan ini, mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016.
"Kami berharap ada kejelasan mengenai siapa yang bertanggung jawab dalam penanganan pengungsi serta bagaimana skema anggarannya. Ini penting agar pengelolaan pengungsi dapat dilakukan secara efektif," katanya.
Beberapa permasalahan yang dihadapi di kamp penampungan antara lain pelecehan di antara sesama pengungsi, kaburnya beberapa pengungsi ke Malaysia melalui jaringan perdagangan manusia (TPPO), serta penolakan dari warga sekitar terhadap rencana penambahan jumlah pengungsi.
Untuk mengatasi permasalahan ini, berbagai opsi sedang dipertimbangkan, termasuk pemulangan sukarela ke negara asal, penempatan ke negara ketiga, atau mencari lokasi khusus, seperti sebuah pulau, untuk dijadikan tempat penampungan bagi para pengungsi Rohingya.
"Kami berharap ada solusi yang tepat agar masyarakat Aceh tetap merasa nyaman, sementara pengungsi Rohingya juga mendapatkan perlindungan yang layak," pungkas Novianto.
Keberadaan pengungsi Rohingya di Aceh merupakan isu kemanusiaan yang memerlukan perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat internasional. Dengan pendekatan yang tepat, diharapkan solusi terbaik dapat ditemukan demi kebaikan bersama.***